August 16, 2011

Touch of GOD

Bab ke-3 dari Buku Just Like Jesus.

Saya lagi merasa 0 banget. Dalam hari-hari ini sedang mengalami banyak “kegagalan”. Saat diajak untuk membayangkan kalau dibuat film mengenai tangan saya, untuk bagian waktu/masa sekarang sepertinya saya akan sangat malu.

And then there are other scenes. Shots of accusing fingers, abusive fists. Hands taking more often than giving, demanding instead of offering, wounding rather than loving. Oh, the power of our hands. Leave them unmanaged and they become weapons: clawing for power, strangling for survival, seducing for pleasure.

Padahal seharusnya tangan ini juga bisa menjadi tangannya Tuhan, alat Tuhan untuk menyatakan kemuliaanNya. Seperti Yesus, menggunakan tangan-Nya dengan sempurna, tidak akan pernah ditemukan scene dalam film Tangan Yesus yang berisi kesalahan, tindakan yang tidak benar.

Dicontohkan salah satu sentuhan tangan Yesus, hal yang dilakukan oleh tangan-Nya adalah saat Ia menyembuhkan orang berpenyakit kusta dengan menyentuhnya. Orang kusta itu digambarkan begitu rindunya akan sentuhan, orang kusta memang pada zaman itu sangat dikucilkan, dalam bahasa Pak Max disebutkan “Ultimate Outcast”.

Dalam penggambaran tambahan khas Max Lucado diperlihatkan bagaimana pria kusa itu sangat merindukan sentuhan dari orang-orang, bukan pandangan jijik, takut dan menghindari. Bhakan dari keluarga, istri dan anaknya. Tapi selama 5 tahun ia tidak pernah bisa mendapatkan itu. Karena itu saat ia mendengar tentang Yesus, ia bertekad untuk menemuinya. Bukan karena iman pastinya lebih karena desperate dan kemarahan di dalam dirinya. Dengan takut-takut ia mendekati Kristus dan memanggilnya,

“Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”

Uniknya juga cara Yesus melakukan penyembuhannya. Yesus sebenarnya tidak perlu menyentuh orang itu, cukup dengan FirmanNya, orang itu akan sembuh. Tapi yang dilakukanNya justru,

Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.

Luar biasa, Tuhan kita yang mahatahu bukan hanya menyembuhkannya, tapi memenuhi kebutuhannya akan sentuhan, bagaimana sebuah sentuhan itu menjadi awal, selain pembersihan tapi juga kepedulian yang nyata, kasih dalam tindakan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh indera kita.

Firman Yesus menyembuhkan kustanya, sentuhan tangan Yesus menyembuhkan kesendiriannya.

Lagi-lagi saya semakin merasa 0 disini, kapan terakhir kali saya melakukan “sentuhan” seperti yang Yesus lakukan, saya sudah begitu egoisnya hidup disini, dan akhirnya yang saya dapat juga 0. Saya mungkin bukan tampak seperti orang kusta yang membutuhkan sentuhan dan kesembuhan, menerima pengucilan, tapi saya juga pastinya bukan Yesus yang menawarkan sentuhan yang menyembuhkan. Mungkin saya lebih tepat akan menjadi orang yang berteriak, “Kusta..kusta..” saat melihat laki-laki itu. Saya sedang dalam peran itu sepertinya, nothing, orang-orang itu “tidak membutuhkan” penyembuhan tapi juga bukan “penyembuh”.

August 9, 2011

Love People You’re Stuck With

 

Attacks of stuckititis are limited to people who breathe and typically occur somewhere between birth and death. Stuckititis manifests itself in irritability, short fuses, and a mountain range of molehills. The common symptom of stuckititis victims is the repetition of questions beginning with who, what, and why. Who is this person? What was I thinking? Why didn’t I listen to my mother?

 

Dari bab 2 di buku Just Like Jesus yang ditulis oleh Max Lucado. Judul bab-nya “Loving People You’re Stuck With”. Tertohok dengan langsung begitu membaca bagian ini, saya orang yang sering menggunakan dan membagikan mengenai doktrin ke-MahaTahua-an Allah, dan inilah yang membuat saya begitu malu, karena saya bahkan tidak menyadari hal sesederhana ini.

 

Saya sering protes kalau bermasalah dengan orang, bilang kalau, “Bukan aku yang salah”, “itu semua salah dia.”, “ya ampun kok dia bisa segitunya ya”. Dengan sulitnya saya harus diajar untuk mengampuni. Ok akhirnya dalam banyak situasi saya benar-benar bisa mengampuni akhirnya, tapi itu setelah banyak perdebatan dan gerutuan, terutama pertahanan ego dengan pembenaran diri.

 

Tapi apa yang dicontohkan Yesus ? Mari benar-benar melihat Yohanes pasal 13.

 

Sebelumnya saya pastikan dulu anda yakin dan percaya pada kemahatahuan Yesus. jadi Yesus tahu sebelum sesuatu terjadi, apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Dia tahu semua itu. Dia tahu dulu kita seperti apa, sekarang sedang berpikir apa dan nantinya akan memilih untuk apa dan melakukan apa. Ya Yesus tahu semua tentang ini.

 

Sekarang mari bayangkan menjadi Yesus saat malam terakhir itu, Ia tahu bagaimana hati murid-muridnya, Ia tahu Yudas akan berkhianat, Ia tahu Petrus akan menyangkal Dia, Ia tahu Thomas akan meragukan kebangkitanNya, Ia tahu bagaimana sikap murid-muridNya nanti. Dan apa yang Yesus lakukan?

 

Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.

 

Pekerjaan membasuh kaki merupakan pekerjaan paling hina, biasanya dilakukan hambanya hamba, yang paling rendah kedudukannya. Dan saat Ia dan murid-muridNya ada di ruangan itu, tidak ada yang mau membasu kaki yang lain, karena mereka bahkan baru saja berdebat mengenai siapa yang terbesar nanti di kerajaan Allah. Dan Yesus yang melakukannya, Ia yang tahu nantinya bagaimana dikap murid-muridNya melakukan tindakan itu sebagai contoh dan pesan bahwa kasih Tuhan itu unconditional, tidak bersyarat dan pengampunanNya bahkan sudah diberikan sebelum suatu hal terjadi, Yesus sudah lebih dulu membersihkan kesalahan murid-muridNya sebelum mereka melakukanNya, sama dengan kita saat ini pun sudah dibasuh oleh kematian Yesus.

 

In this case the one with the towel and basin is the king of the universe. Hands that shaped the stars now wash away filth. Fingers that formed mountains now massage toes. And the one before whom all nations will one day kneel now kneels before his disciples. Hours before his own death, Jesus’ concern is singular. He wants his disciples to know how much he loves them. More than removing dirt, Jesus is removing doubt.

 

Bahkan dengan orang-orang bebal yang kalau dibaca di kisah Alkitab itu, Yesus bisa mengampuni mereka dan justru tindakanNya itu membentuk mereka menjadi maksimal. Orang-orang yang tidak percaya, meragukan segala sesuatu, pernah mengatainya sebagai hantu, pernah hilang kepercayaan dan akan mengkhianatiNya dan meninggalkanNya. Bandingkan dengan saya, saya bahkan tidak tahu alasan kenapa orang bertindak sesuatu yang tidak cocok bagi saya, saya tidak tahu alasan dibaliknya, bahkan biarpun akhirnya tau, itu tidak seperti pengkhianatan Yudas ataupun penyangkalan Petrus.

 

Susah untuk dipraktekkan, tapi saya harus bisa, Tuhan sudah mencontohkan bagi saya, kasih dan pengampunan tanpa syarat, setiap saat, untuk segala sesuatu.

July 20, 2011

Just Like Jesus

Untuk kesekian kalinya saya baru saja membaca bab awal dari buku Max Lucado “Just Like Jesus”. Dan lagi-lagi masih di bagian yang sama, bab awal, pembuka dimana kita diminta untuk membayangkan apa yang terjadi kalau sehari saja, 24 jam, Tuhan Yesus mengambil alih hidup kita.

What if, for one day, Jesus were to become you?

“What if, for twenty-four hours, Jesus wakes up in your bed, walks in your shoes, lives in your house, assumes your schedule? Your boss becomes his boss, your mother becomes his mother, your pains become his pains? With one exception, nothing about your life changes. Your health doesn’t change. Your circumstances don’t change. Your schedule isn’t altered. Your problems aren’t solved. Only one change occurs. What if, for one day and one night, Jesus lives your life with his heart? Your heart gets the day off, and your life is led by the heart of Christ. His priorities govern your actions. His passions drive your decisions. His love directs your behavior.”


Apakah ada orang yang merasakan perbedaan dari kita bila itu terjadi?

Saya mau membayangkan dengan bebas dulu :

 

  • Yesus pasti bangun pagi, terus hal pertama yang dilakukannya bukan ngecek BB atau langsung Online FB dan Kaskus, tapi Dia pasti lebih dulu turun dari ranjang dan bertelut, berdoa, berbincang dengan Bapa di Surga.
  • Ga asal nyomot kata-kata positif untuk dikirim, tapi tahu yang paling tepat untuk dikirim hari itu
  • Waktu berangkat naik motor kemungkinan tidak akan berangkat jam 7.50++ seperti saya, mungkin paling tidak sekitar jam 7.30, agar cukup waktu dan mengantisipasi bila ada kejadian yang mendesak.
  • Sarapan mungkin sama ya, bakal beli di koperasi kantor, makan di meja kerja.
  • Selama 8 jam kerja harusnya ga terdistract untuk ngaskus atau situs-situs lain yang tidak berhubungan dengan kerja, tidak nyari-nyari spek HTPC, review dan komparasi VGA, harga tablet Huawei, review Smartfren Wide, Xbox vs PS3 dll.
  • Lebih peduli pada koneksi, hubungan dengan sesama teman kerja, daripada saya yang banyak (baca:selalu) terpaku pada layar computer dan laptop bergantian.
  • Pulang seselesai tanggung jawab hari itu, bukan pulang cepet pas jam5 meskipun kerjaan belum selesai, bukan juga pulang lama karena milih buat Fban atau download2.
  • Makan juga mungkin sama, di rangkaian warung favorit saya.
  • Pulang kost harusnya langsung mandi biar seger, mungkin lanjut ngenet2, tapi pasti ga tertarik buat buka situs2 ga jelas, tapi bakal masuk situs komitmen, nulis di blog dan GMO Outreach yang sudah sangat lama saya tinggalkan.
  • Ga bakal nulis status #galau ga jelas di FB, twitter ataupun G+ dan lainnya, tapi pastinya kata-kata yang positif dan memberkati, sadar kalau itu mungkin akan dibaca banyak orang.
  • Jam 9 sesuai komitmen harusnya bakal Doa malem, bersyukur buat hari itu, ndoain titipan2 dengan benar dan tentu saja ndoain keluarga.
  • Bakal sering nelpon Keluarga (Bapak, Ibu, mba Lita) sadar kalau itu bagian terpenting saat ini
  • Tidur cukup 7 jam, berkualitas.

 

Itu secara kegiatan, secara perilaku pasti bakal keliatan banget bedanya. Padahal kata Bung Max Lucado, kita bahkan sudah memiliki hati Kristus saat kita menerima dan percaya kepada-Nya. Tapi mungkin kita memilih untuk tidak menggunakannya dan menggunakan hati lama kita, yang primitive dan penuh luka. Seperti kta judul buku itu, Tuhan mengasihi kita apa adanya seperti kita selayaknya, tapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya, Dia ingin kita menjadi “Just Like Jesus”.

Penggambaran yang sangat bagus menurut saya mengenai hal ini dalam cerita Max dan anaknya yang bermain di box pasir. Max mau membelikan anaknya eskrim, tapi saat akan menyerahkannya ia melihat mulut anaknya kotor karena pasir, sebelum memberikan eskrim itu Max membawa anaknya untuk dibasuh dan membersihkan mulutnya. Baru si anak bisa menikmati Eskrim darinya dengan kenikmatan penuh. Seperti itulah yang dilakukan Tuhan, Ia mau kita mendapatkan yang terbaik dan perlu membersihkan “pasir di mulut” kita terlebih dulu untuk itu.

July 19, 2011

belajar dari rasul Petrus

diambil dari buku berjudul Life Wide Open oleh David Jeremiah.

Selama 3 tahun hidupnya di dunia dengan Yesus, Petrus merendahkan dirinya lebih dari sekali. Akan tetapi, yg penting pada akhirnya bukanlah kegagalannya, melainkan kemampuannya untuk cepat bangkit kembali. Petrus adalah murid yg berjalan di atas air untuk menghampiri Yesus, tetapi kemudian imannya goyah dan ia mlai tenggelam (Matius 14:22-32). Apa yg lebih penting, bahwa ia gagal atau bahwa ia berjalan cukup jauh untuk belajar tentang pelajaran iman?

Di kemudian hari, Yesus melontarkan pertanyaan kepada para murid tentang identitasNya yang sebenarnya. Petrus berkata dengan lancar, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Matius 16:16). Yesus memberkatinya karena jawaban itu. Namun, tak lama kemudian, ketika Yesus mengatakan tentang kematianNya yg akan dihadapiNya, Petrus memutuskan untuk menegur Tuhan: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau!” (ayat 22). Alih-alih mendapat berkat dari Tuhan, Petrus menerima omelan yg menyakitkan: “Enyahlah iblis. Engkau suatu batu sandungan bagiKu” (ayat 23).

Bagaimana perasaan anda jika anda dipanggil oleh pemimpin agama anda dan dituduh menjadi alat iblis – dan omelan itu terbukti? Apakah anda tergoda untuk merangkak masuk ke dalam lubang dan takpernah keluar lagi? Mulai mencari gereja baru? Namun, mana lebih penting bagi Petrus; bahwa ia salah bicara atau bahwa ia menarik pelajaran tentang ketaatan?

Petrus sekali lagi membual besar-besaran pada saat-saat terakhir kehidupan Kristus di dunia. Ketika Yesus memberitahuka di ruang atas bahwa murid-muridNya akan tersandung, Petrus menegaskan, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak … Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau!” (Matius 26:33,35). Akan tetapi, ia toh melakukannya, hanya beberapa jam kemudian ia menyangkal tiga kali bahwa ia kenal denga Tuhan. Salah satu adegan paling mencemaskan di dalam injil ialah adegan ketika Tuhan menatap kepada Petrus pada saat ayam berkokok. Petrus dipenhi oleh rasa malu dan penyesalan, dan ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya (Lukas 22:60-62).

Namun, itu bukanlah akhir dari Petrus. Malu, kecewa, putus asa? Ya. Meninggalkan tugas, melarikan diri, tidak meneruskan tugasnya? Tak pernah! Ketika Petrus mendengar bahwa Yesus sudah bangkit, ia cepat-cepat pergi ke kubur dan bertanya dalam hatinya apa yg kiranya telah terjadi (Lukas 24:12). Ketika ia melihat Kristus yg sudah bangkit berada di pantai sementara ia sedang menangkap ikan, Petrus terjun ke dalam danau, dan tampaknya ia sangat bersukacita melihatNya (Yohanes 21:7). Ketika Yesus dengan lembut mengajukan pertanyaan kepadanya, Petrus menegaskan kasihnya kepada Tuhan. Petrus berada di antara orang-orang di ruang atas yang dipenuhi dengan Roh Kudus pada Hari Pentakosta. Dari pasal-pasal pertama Kisah Para Rasul mencatat perbuatan-perbuatan mencengangkan atas kuasa Roh Kudus, yang dilakukan oleh seorang rasul yg tak sempurna, yg tak mau menyerah pada sifat-sifatnya yg kurang baik dan kegagalan-kegagalannya.

July 12, 2011

Pasangan Hidup…

Waaah udah lama ngga nge-post…

Tiba2 kepikiran buat cerita tentang tema ini…

Bener-bener belom ada gambaran tentang siapa pasangan hidupku nanti… Hmmm… komitmen yang kujalani bersama seseorang, yang kukira akan bertahan dan diperjuangkan, ternyata tidak dilanjutkan lagi hehehe; yah karena belum ada peneguhan untuk kami.. dari Tuhan sendiri maupun orang tua, juga kondisi kami yang masih sama2 belom mapan…

Setelah hari pengambilan keputusan itu… hatiku cukup galau..eh bukan…sangat galau hehehe… sangat sedih sampai aku ngga taw apa yang sebenernya kurasain… tapi d situlah aku belajar sesuatu yang beberapa hari itu sempat membuatku bertanya-tanya… yaitu untuk mengambil keputusan bukan karena perasaan atau logika, bukan berdasar apa yang kuingini, tapi apa yang akan mendatangkan damai sejahtera…

Selama ini, aku belum lulus and belom begitu mengerti dalam hal ujian pengambilan keputusan berdasar damai sejahtera… yang ku tau..rasanya damai sejahtera itu ya kalo semua berjalan sesuai dengan yang aku harapkan… ngga ada kesedihan…  Tapi dalam ujian kali ini, kesedihan tetap kurasakan… namun tidak dengan penyesalan… Aku merasakan kelegaan sehabis kesedihan itu terlewati… Ngga lagi merasa tertekan, ngga lagi merasa galau, dan pikiranku lebih terbuka…

Dengan mudah, aku menjalani hidupku sekarang, di hari pengambilan keputusan itu, aku melepas cintaku, dan rasanya seperti melepas jantungku wkwkwk #mulai lebay… tapi itu bener2 kurasakan… seperti ada bagian dalam tubuhku ini yang hilang…

Sekarang adalah waktunya untuk mengevaluasi dan belajar dari proses hidupku kemarin… satu hal, aku sangat bersyukur boleh mencintainya… Dia membuatku belajar banyak hal: mengutamakan Tuhan; kesetiaan; kesabaran; cinta apa adanya, dan kekudusan. Keputusan dan pengorbanannya untuk menolak kedekatan tanpa status sangat2 membentuk karakterku, mengubahku dari orang yang terlalu gampang jatuh cinta menjadi orang yang setia. Belajar untuk mengerti orang lain, serta menerima posisi dan kesulitan orang lain.

Sangat bersyukur boleh berproses bersama dia…  pribadi yang mungkin ngga akan kutemui lagi… pribadi yang sangat menghargaiku sebagai wanita…

hmmm… jika kami dpertemukan lagi…dan cinta masih ada diantara kami.. mungkin saat itulah kami d teguhkan =)

Yukz berjuang untuk cinta kita masing-masing… siapa yang menjadi pasangan hidup kita nantinya adalah pilihan kita sendiri… Mulai belajar untuk peka akan suara hati kita… meski sangat..sangat..sangat mencintai… jangan sampai mata hati kita tertutup oleh cinta itu… ketika segalanya terlihat sangat mendorong kita untuk maju, tetapi kalo hati kecil kita bilang tidak/belum… yukz belajar untuk taat dan tetap berdoa… Tuhan pasti akan menuntun hati kita untuk memilih yang terbaik, sesuai dengan kehendakNya…