Archive for ‘Cay’

August 9, 2011

Love People You’re Stuck With

 

Attacks of stuckititis are limited to people who breathe and typically occur somewhere between birth and death. Stuckititis manifests itself in irritability, short fuses, and a mountain range of molehills. The common symptom of stuckititis victims is the repetition of questions beginning with who, what, and why. Who is this person? What was I thinking? Why didn’t I listen to my mother?

 

Dari bab 2 di buku Just Like Jesus yang ditulis oleh Max Lucado. Judul bab-nya “Loving People You’re Stuck With”. Tertohok dengan langsung begitu membaca bagian ini, saya orang yang sering menggunakan dan membagikan mengenai doktrin ke-MahaTahua-an Allah, dan inilah yang membuat saya begitu malu, karena saya bahkan tidak menyadari hal sesederhana ini.

 

Saya sering protes kalau bermasalah dengan orang, bilang kalau, “Bukan aku yang salah”, “itu semua salah dia.”, “ya ampun kok dia bisa segitunya ya”. Dengan sulitnya saya harus diajar untuk mengampuni. Ok akhirnya dalam banyak situasi saya benar-benar bisa mengampuni akhirnya, tapi itu setelah banyak perdebatan dan gerutuan, terutama pertahanan ego dengan pembenaran diri.

 

Tapi apa yang dicontohkan Yesus ? Mari benar-benar melihat Yohanes pasal 13.

 

Sebelumnya saya pastikan dulu anda yakin dan percaya pada kemahatahuan Yesus. jadi Yesus tahu sebelum sesuatu terjadi, apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Dia tahu semua itu. Dia tahu dulu kita seperti apa, sekarang sedang berpikir apa dan nantinya akan memilih untuk apa dan melakukan apa. Ya Yesus tahu semua tentang ini.

 

Sekarang mari bayangkan menjadi Yesus saat malam terakhir itu, Ia tahu bagaimana hati murid-muridnya, Ia tahu Yudas akan berkhianat, Ia tahu Petrus akan menyangkal Dia, Ia tahu Thomas akan meragukan kebangkitanNya, Ia tahu bagaimana sikap murid-muridNya nanti. Dan apa yang Yesus lakukan?

 

Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.

 

Pekerjaan membasuh kaki merupakan pekerjaan paling hina, biasanya dilakukan hambanya hamba, yang paling rendah kedudukannya. Dan saat Ia dan murid-muridNya ada di ruangan itu, tidak ada yang mau membasu kaki yang lain, karena mereka bahkan baru saja berdebat mengenai siapa yang terbesar nanti di kerajaan Allah. Dan Yesus yang melakukannya, Ia yang tahu nantinya bagaimana dikap murid-muridNya melakukan tindakan itu sebagai contoh dan pesan bahwa kasih Tuhan itu unconditional, tidak bersyarat dan pengampunanNya bahkan sudah diberikan sebelum suatu hal terjadi, Yesus sudah lebih dulu membersihkan kesalahan murid-muridNya sebelum mereka melakukanNya, sama dengan kita saat ini pun sudah dibasuh oleh kematian Yesus.

 

In this case the one with the towel and basin is the king of the universe. Hands that shaped the stars now wash away filth. Fingers that formed mountains now massage toes. And the one before whom all nations will one day kneel now kneels before his disciples. Hours before his own death, Jesus’ concern is singular. He wants his disciples to know how much he loves them. More than removing dirt, Jesus is removing doubt.

 

Bahkan dengan orang-orang bebal yang kalau dibaca di kisah Alkitab itu, Yesus bisa mengampuni mereka dan justru tindakanNya itu membentuk mereka menjadi maksimal. Orang-orang yang tidak percaya, meragukan segala sesuatu, pernah mengatainya sebagai hantu, pernah hilang kepercayaan dan akan mengkhianatiNya dan meninggalkanNya. Bandingkan dengan saya, saya bahkan tidak tahu alasan kenapa orang bertindak sesuatu yang tidak cocok bagi saya, saya tidak tahu alasan dibaliknya, bahkan biarpun akhirnya tau, itu tidak seperti pengkhianatan Yudas ataupun penyangkalan Petrus.

 

Susah untuk dipraktekkan, tapi saya harus bisa, Tuhan sudah mencontohkan bagi saya, kasih dan pengampunan tanpa syarat, setiap saat, untuk segala sesuatu.

July 20, 2011

Just Like Jesus

Untuk kesekian kalinya saya baru saja membaca bab awal dari buku Max Lucado “Just Like Jesus”. Dan lagi-lagi masih di bagian yang sama, bab awal, pembuka dimana kita diminta untuk membayangkan apa yang terjadi kalau sehari saja, 24 jam, Tuhan Yesus mengambil alih hidup kita.

What if, for one day, Jesus were to become you?

“What if, for twenty-four hours, Jesus wakes up in your bed, walks in your shoes, lives in your house, assumes your schedule? Your boss becomes his boss, your mother becomes his mother, your pains become his pains? With one exception, nothing about your life changes. Your health doesn’t change. Your circumstances don’t change. Your schedule isn’t altered. Your problems aren’t solved. Only one change occurs. What if, for one day and one night, Jesus lives your life with his heart? Your heart gets the day off, and your life is led by the heart of Christ. His priorities govern your actions. His passions drive your decisions. His love directs your behavior.”


Apakah ada orang yang merasakan perbedaan dari kita bila itu terjadi?

Saya mau membayangkan dengan bebas dulu :

 

  • Yesus pasti bangun pagi, terus hal pertama yang dilakukannya bukan ngecek BB atau langsung Online FB dan Kaskus, tapi Dia pasti lebih dulu turun dari ranjang dan bertelut, berdoa, berbincang dengan Bapa di Surga.
  • Ga asal nyomot kata-kata positif untuk dikirim, tapi tahu yang paling tepat untuk dikirim hari itu
  • Waktu berangkat naik motor kemungkinan tidak akan berangkat jam 7.50++ seperti saya, mungkin paling tidak sekitar jam 7.30, agar cukup waktu dan mengantisipasi bila ada kejadian yang mendesak.
  • Sarapan mungkin sama ya, bakal beli di koperasi kantor, makan di meja kerja.
  • Selama 8 jam kerja harusnya ga terdistract untuk ngaskus atau situs-situs lain yang tidak berhubungan dengan kerja, tidak nyari-nyari spek HTPC, review dan komparasi VGA, harga tablet Huawei, review Smartfren Wide, Xbox vs PS3 dll.
  • Lebih peduli pada koneksi, hubungan dengan sesama teman kerja, daripada saya yang banyak (baca:selalu) terpaku pada layar computer dan laptop bergantian.
  • Pulang seselesai tanggung jawab hari itu, bukan pulang cepet pas jam5 meskipun kerjaan belum selesai, bukan juga pulang lama karena milih buat Fban atau download2.
  • Makan juga mungkin sama, di rangkaian warung favorit saya.
  • Pulang kost harusnya langsung mandi biar seger, mungkin lanjut ngenet2, tapi pasti ga tertarik buat buka situs2 ga jelas, tapi bakal masuk situs komitmen, nulis di blog dan GMO Outreach yang sudah sangat lama saya tinggalkan.
  • Ga bakal nulis status #galau ga jelas di FB, twitter ataupun G+ dan lainnya, tapi pastinya kata-kata yang positif dan memberkati, sadar kalau itu mungkin akan dibaca banyak orang.
  • Jam 9 sesuai komitmen harusnya bakal Doa malem, bersyukur buat hari itu, ndoain titipan2 dengan benar dan tentu saja ndoain keluarga.
  • Bakal sering nelpon Keluarga (Bapak, Ibu, mba Lita) sadar kalau itu bagian terpenting saat ini
  • Tidur cukup 7 jam, berkualitas.

 

Itu secara kegiatan, secara perilaku pasti bakal keliatan banget bedanya. Padahal kata Bung Max Lucado, kita bahkan sudah memiliki hati Kristus saat kita menerima dan percaya kepada-Nya. Tapi mungkin kita memilih untuk tidak menggunakannya dan menggunakan hati lama kita, yang primitive dan penuh luka. Seperti kta judul buku itu, Tuhan mengasihi kita apa adanya seperti kita selayaknya, tapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya, Dia ingin kita menjadi “Just Like Jesus”.

Penggambaran yang sangat bagus menurut saya mengenai hal ini dalam cerita Max dan anaknya yang bermain di box pasir. Max mau membelikan anaknya eskrim, tapi saat akan menyerahkannya ia melihat mulut anaknya kotor karena pasir, sebelum memberikan eskrim itu Max membawa anaknya untuk dibasuh dan membersihkan mulutnya. Baru si anak bisa menikmati Eskrim darinya dengan kenikmatan penuh. Seperti itulah yang dilakukan Tuhan, Ia mau kita mendapatkan yang terbaik dan perlu membersihkan “pasir di mulut” kita terlebih dulu untuk itu.

April 12, 2011

Pada Waktunya

Salah satu kalimat yang sering saya nyatakan, bahkan jadi tagline di header blog saya sekarang. Segala sesuatu indah pada waktunya — the Best is Yet to Come. Salah satu pengalaman yang saya ingat dari kata-kata ini (sama sekali bukan pengalan rohani..hi3). Pengalaman itu adalah waktu lagi baca-baca buku biodata anggota PMK Teknologi Pertanian UGM. Saya lagi baca di bagian angkatan 2005 dan saya mengenali suatu bagian yang “aneh”. Salah satu bagian dari biodata itu selain nama, tempat tanggal lahir, hobi, dll adalah kolom kata-kata favorit, kata-kata pegangan atau ayat pegangan. Dan yang saya sebut “aneh” adalah saya lihat ada dua anak angkatan 2005 yang memiliki kata favorit sama. Dua-duanya wanita dan berasal dari sekolah/SMA yang sama. Kata favorit mereka adalah “segala sesuatu indah pada waktu Nya”. Dengan becandaan saya simpulkan bahwa ” wah ini pasti kehidupan di SMA mereka kejam, sampai2 kata favortinya sama gini”. Teman-teman yang lagi bersama-sama melihat buku itu juga ikut tertawa-tawa.
Trus kenapa sekarang itu bahkan jadi tagline Blog saya? Apakah saya sedang “menderita” ?
Hmmmm. Sebut saja relatif, tergantung dari cara pandang saja. Kalau dari cara pandang saya tentu saja tidak. Saya kan lagi mengembangkan, memperkatakan dan menyatakan cara pandang positif, jadi ga mungkin saya akan menganggap keadaan saya sekarang adalah “penderitaan”.
Ini merupakan salah satu kata andalan saya untuk menghadapi, menggantikan pikiran negatif di hidup saya. Saya kasih contoh ya :

  • Masa-masa garap skripsi, pernah mentok sama sekali, dosen pembimbing juga seakan sudah kesusahan mau membantu saya dalam pengerjaan, si negatif datang “susah banget ya, ga bakal selesai-selesai tuch, kamu thu gini, gitu, dll.dll..” Saya perkatakan kalimat “itu” dan saya tetap berusaha mengerjakan, tetap berusaha menghadap dosen meski hasilnya jelek, dll.
  • Masa-masa cari kerja, waktu itu saya gagal berkali-kali, hampir semuanya setelah sesi wawancara, padahal saya merasa cukup OK saat diwawancara, tidak kaku, grogi, dll. Tapi gagal terus. Si negatif datang dan menyerang “wah, kapan bakal dapat kerja kamu kalo gitu, ada yang salah banget dari dirimu, kamu parah banget, dll, dll..” Saya tetap perkatakan kalimat “itu”, dan saya bisa menyingkirkan pikiran negatif, menggantinya dengan semangat dan kepercayaan penuh pada Tuhan.
  • Masa-masa kerja, harus diakui saya memang agak lambat beradaptasi, kurang kepenakan, banyak segan dan canggung di kerjaan. Bahkan suatu hari saya membuat kesalahan fatal yang berdampak sistemik nyampe kemana-kemana. Si negatif beraksi “kamu bodoh banget, dah lambat, bikin salah fatal lagi, ngerepotin orang-orang, bener-bener harusnya ga disini, ga berguna, malah ngerusak saja” Berat, tapi saya tetap berusaha berpikir kalimat “itu”, dan saya justru mendapat dukungan dari atasan, orang -orang yang jadi repot karena saya bahkan, belajar banyak hal baru, dan terus menerus di asah dari situ.
  • Masa-masa tanpa komputer, karena masalah keluarga, waktu kelas 3SMA komputer saya terpaksa dijual karena digunakan untuk kebutuhan lain, saya yang sangat suka komputer tidak memiliki komputer, apalagi setelah itu kuliah, saya bayangkan gimana garap tugas-tugas tanpa komputer, dll. Saya minta terus sama Tuhan, ga dikasih-dikasih, baru pada tahun ke4 kuliah atau semester 7 saya dapat komputer, selam itu sebelumnya banyak pikiran negatif yang menyerang, saya tetap lagi-lagi berpegang pada kalimat “itu”, dan saat dilihat sekarang segala sesuatunya terlihat begitu baiknya, saking baiknya saya sampai bingung dengan jalan yang dirangkai Tuhan untuk saya begitu istimewanya.
  • Masa-masa gagal dalam mencari pasangan hidup, dua kali semasa kuliah, mau dibilang gimana-gimana juga saya ada masa-masa down-nya. Negatif juga terus menyerang, mengulang-ulang terus kesalahan saya, membuat saya berpikiran jelek, dan juga dalam beberapa keadaan si negatif menyemangati saya untuk segera mencari penggani, bukan dengan kriteria dan prinsip saya. Saya perkatakan kalimat “itu”, dan saya semakin sadar, orang seperti apa yang saya butuhkan dan akan menjadi pelengkap saya.
  • Hampir setiap hari juga, negatif selalu menjudge orang yang saya temui, berpikiran macam-macam untuk kejadian-kejadian yang setelah saya pikirkan dengan pikiran positif menjadi biasa saja.

Banyak kan contohnya? masih banyak lagi kalau mau dijabarkan sampai ke hidup sehari-hari saya, dan dengan kalimat “itu” saya menghadapi setiap perkataan si negatif. Bahkan hari kemarin saya dapat bekal baru, kalimat “itu” dalam bentuk lagu yang fresh dan indah. Dinyanyikan oleh Ivan Handojo berjudul Pada Waktunya.

You spent you life looking for
That one thing that makes it all
Worth all the tears that fall
Walking down on this road
Moving on, stepping forward
Althought it’s not that easy
Just keep holding on
Just keep pressing on
Just keep moving on
Ada waktu untuk Menangis
‘tuk Tertawa
‘tuk Bertahan saja
Ada waktu untuk Menunggu
‘tuk Percaya
Bahwa semua akan Indah
Pada Waktunya

April 12, 2011

Mencukupkan Diri

Mengapa itu perlu? karena di balik rasa “cukup” ada rasa lain, yaitu ketergantungan. Dan ketergantungan berarti penyerahan yang mutlak, tanpa tanya dan tanpa ragu, kepada otoritas yang paling itnggi, yaitu Tuhan, Allah yang empunya pelayanan ini.
Paulus sangat tahu itu. Itulah sebabnya ia pernah menulis kepada jemaat di Filipi, “Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.” Bayangkan, dalam keadaan paling membutuhkan sekalipun, Paulus bisa menyatakan sesuatu yang sangat indah untuk dipelajari: mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Kita, seperti Paulus, memang harus terus-menerus belajar hal ini. Ia dipenjara, tetapi tidak menuntut untuk dibebaskan. Ia berulang kali menghadapi bahaya, tetapi tidak menuntut Tuhan untuk melepaskannya dari hal itu. Ia dihadang dari sana-sini oleh orang Yahudi, tetapi tidak meminta kelegaan kepada Tuhan. Bahkan ketika ia jauh dari cita-cita dan ambisi probadinya sendiri, ia tetap mengatakan, aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Seorang pemimpin di dalam Tuhan, justru sebaliknya. Ia, dalam segala keadaan, harus belajar membebaskan diri dari syarat-syarat yang mengikat. Ia harus belajar melepaskan diri dari ketergantungan. Lalu sebaliknya, ia berjalan ke arah kepemimpinan yang penuh dengan kebebasan dan kelegaan. Semuanya di dalam Tuhan.
Mencukupkan diri memang tidak semudah yang dituliskan Paulus. Gideon, seorang hakim Tuhan, pernah mengalamimya. Suatu hari, ia yang juga disebut Yerubaal itu harus memimpin orang Israel berperang melawan orang Midian. Sayangnya, atas kehendak Tuhan, ia harus belajar mencukupkan diri pada apa yang Tuhan berikan sebagai bagiannya. Mulanya ia mengharapkan sepasukan besar yang gagah berani, gegap gempita dan sempurna untuk kemenangan yang mutlak. Akan tetapi, Tuhan punya cara tersendiri untuk membuktikan bahwa mencukupkan diri ternyata lebih penting bagi Gideon dibandingkan kemenangan itu sendiri.
Dari tiga puluh ribi prajuritpilihannya, Gideon harus berpuas hati ketika Tuhan memilih sendiri sepuuh ribu prajurit yang terlibat peperangtan itu. Tuhan, bukankah jumlah itu terlalu sedikit untuk melawan orang Midian yang jumlahnya ratusan ribu?
Namun, itu pun belum membuat Tuhan berhenti. Dia malah melakkan seleksi lagi hingga yang tersisa dan layak berperang hanyalah tiga ratus orang. Tiga ratus orang melawan ratusan ribu prajurit Midian! Gideon pasti berpikir demikian:bagaimana mungki bisa memenangkan peperangan dengan prajurit sebanyak itu, Tuhan?
Namun, Gideon justru sedang diajar oleh Tuhan mengenai satu hal ; mencukupkan diri dalam segala keadaan. Ia tetap harus membawa pasukan kecil ituberperang!Ya, berperang dengan jumlah yang cukup itu. Dan Tuhan berkata, “Jangan-jangan orang Israel memegah-megahkan diri terhadap Aku, sambil berkata tanganku sendirilah yang menyelamatkan aku.” itulah alasan yang dipakai Allah agar Gideon mencukupkan diri.
Dengan memiliki banyak kelebihan–kapasitas pribadi, keuangan, kenalan, rekan sekerja dan yang lainnya–kita memang bisa terjebak dalam kepongahan di hadapan Tuhan yang Mahakuasa. Dengan memiliki banyak hal, jangan-jangan kita pun seperti yang apa yang dipikirkan Tuhan : mengira bahwa peperangan dan perjalanan kepemimpinan berlangsung karena kita, bukan Dia. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kita mengira nbahwa segala sesuatu terjadi karena kita ada.

GBU

Bibliography: Alkitab Filipi 4:11, Hakim-hakim 6-8, Kepemimpinan Dalam Nama Tuhan (Fotarisman Zaluchu).

April 12, 2011

Harus 2 Kali

2 minggu kemarin waktu ke gereja, saya dapat Firman yang sama sumber bacaan Injilnya. Sebenarnya ini tidak aneh karena saya memang bergereja di tempat yang berbeda dan keduanya terpisah golongan yaitu GPIB dan GKI sehingga normal-normal saja kalau saya mendapat Bacaan Injil yang sama karena mereka memang tidak mencocokkan bahan atau tema khotbah. Yang istimewa adalah, minggu sebelumnya saya sangat-sangat tertarik dengan bagian Firman itu, tertanam dan berulangkali bilang bahwa itu Firman yang bagus, tapi akhirnya saya tidak melakukan followup apapun. Dan minggu kemarin ternyata Tuhan masih memberi kesempatan dengan mengingatkan saya mengenai Firman ini lagi agar saya segera melakukan proses Follow Up yang seperti seharusnya.
Saya ambil beberapa ayat yang saya anggap penting saja ya, dari Yohanes 9 mengenai Orang yang Buta Sejak Lahir.

 

“Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Begitu mendengar Firman ini, saya langsung teringat pada bacaan di hari-hari awal Purpose Driven Life, bahwa segala sesuatu memiliki tujuan, memiliki rancangan, rencana yang diberikan Tuhan, dipercayakan oleh Tuhan bagi kita.
Saya bilang sih, normalnya manusia yang berdosa. Tidak akan pernah puas, bahkan dengan hal-hal yang tidak bisa diubah lagi. Saya juga, dari kecil sering melancarkan perkataan bernada protes ke Tuhan mengenai beberapa keadaan di hidup saya yang bahkan saya sadari tidak bisa diubah, terbentuk di pikiran saya Tuhan tidak “adil”, membedakan, dan saya terkadang jadi apatis.
Itu keadaan saya tidak bisa menerima apa yang telah Tuhan sediakan bagi saya. Seakan memang disediakan orang yang terkutuk (ga segitunya sih saya sebenernya), kurang diberkati, kurang, kurang, kirang yang lain.
Seperti cerita orang buta di Yohanes 9 itu, dipertanyakan kok bisa ada orang yang buta sejak lahir, dosa siapa, kutukan yang asalnya dari siapa, kenapa bisa begitu, siapa yang salah sehingga orang itu buta sejak lahir. Tuhan Yesus dengan bijak menjawab, bukan siapa-siapa yang salah, tetapi pekerjaan Tuhan harus dinyatakan melalui orang itu, melalui “kekurangan”-nya, orang itu menjadi saksi, menjadi objek, menjai contoh pekerjaan Allah yang mulia.
Kalau dipandang dari sisi ini, betapa luar biasanya segala “kekurangan” saya. Itu semua dalam koridor rencana Allah, untuk menyatakan pekerjaanNya.
Sekarang saya mau bersikap seperti pengemis buta itu,
“dan berkata kepadanya: “Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam.” Siloam artinya: “Yang diutus.” Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.”

Saya mau nurut, pergi membasuh diri ke kolam Siloam saya, tempat yang Tuhan utus kepada saya untuk saya pergi. Ga perlu dapet firman yang ke-3.